Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
semakin masif dan mudahnya memperoleh informasi dan menyebarluaskannya, sesungguhnya dapat memberikan manfaat positif kepada kita namun juga secara bersamaan dapat memberikan pengaruh negatif bagi alam pemikiran kita, hendaknya keterbukaan informasi yang ada saat mampu memperkaya khazanah kita dalam berpikir sehingga dapat membentuk sudut pandang yang lebih luas, seluas samudra ilmu pengetahuan yang ada. harus dipahami bahwa kemempuan mendapatkan informasi dan mengolahnya menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mengambil kesimpulan dari sebuah problematika yang ada. termasuk didalamnya problematika dalam menjalankan ibadah. Sebagaimana dipahami, sejak zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama terhadap persoalan - persoalan tertentu yang dalam Islam disebut sebagai masalah khilafiyah. persoalan khilafiyah ini merupakan persoalan dari cabang-cabang agama, bukan pokok ajaran Islam. Perbedaan terjadi karena pesan yang disampaikan dalam ayat Al-Qur’an bersifat global dan abstrak sehingga memungkinkan terjadinya banyak tafsir. Perbedaan pandangan dan saling klaim kebenaran ini juga muncul di dalam konten-konten yang diunggah di berbagai platform media.
sebelumnya harus disepakati perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah dan setiap yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam agama berhak memiliki pandangan dan pendapat yang sesuai dengan keyakinannya, hanya saja dalam berpendapat hendaknya setiap pendapat yang kita jadikan hujjah harus dirujuk dari, Alqur'an, Sunnah/Hadits, Pendapat tabi', tabi'in, dan para alim ulama'. namun jika pendapat atau pandangan kita dapat dipatahkan dengan pendapat yang hujjahn yang shahih dan disepakati oleh sebagian besar ulama yang ada, maka hendaknya kita mengkaji lagi pendapat kita tanpa menjadikan perbedaan itu sebagai penghalang dalam bersaudara seiman dan seagama, tentusaja pendapat yang dijadikan hujjah tidaklah boleh bertentangan dari ajaran pokok agama islam, semisal Aqidah. kita boleh berbeda dalam tatacara pelaksanaan peribadatan namun dalam ajaran - ajaran atau perintah perintah esensial haram hukumnya jika berbeda.
ada banyak kasus perbedaan yang terjadi dewasa ini, yang terkadang karena perbedaan pandangan menyebabkan terciptanya jurang pembatas antara muslim satu dengan muslim yang lain, contohnya penetapan batas minimal jumlah jamaah saat melaksanakan Solat Jum'at. banyak diantara kita bahkan dipelosok - pelosok daerah terpencil meyakini bahwa batasan jumlah minimal jamaah solat jum'at adalah 40 orang jika kurang maka solat jum'at dinyatakan tidak sah, hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah, yang bunyinya begai berikut :
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا، وَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ وَأَضْحًى، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ جَمَاعَةٌ
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Sunnah (amal yang sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang telah dilakukan (sejak dulu) bahwa pada setiap tiga orang maka ada (seorang) yang dijadikan sebagai imam dan pada setiap empat puluh orang atau lebih dari itu maka (boleh mendirikan) shalat Jum’at, Idul fithri dan Idul Adha, karena mereka adalah jama’ah.”
seorang yang membaca hadit's ini tanpa bimbingan dan petunjuk dari ulama lain, atau tidak membandingkannya dengan pendapat para alim ulama yang lain, tentu akan semakin yakin bahwa pandangan yang mereka miliki adalah pandangan yang benar dan bagi mereka yang berada diluar pandangan ini adalah pengikut ajaran islam yang salah, dan harus diberikan petunjuk atasnya, harus kita akui implikasi seperti yang saya sampaikan sebelumnya ini sering terjadi. padahal menurut pandangan ulama Hadits ini adalah hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdirrahman al-Qurasyi, dia dinyatakan sebagai rawi yang lemah riwayatnya oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab beliau yang tersebut di atas. Bahkan Imam Ahmad t berkata tentrang rawi ini, “Hapuslah hadits (yang diriwayatkan)nya karena itu dusta atau palsu.” Imam ad-Daraquthni berkata, “Hadits (yang diriwayatkan)nya mungkar (diingkari karena sangat lemah).
Imam al-Baihaqi rahimahullah sendiri menilai hadits ini lemah setelah membawakannya. Hadits ini juga diisyaratkan kelemahannya oleh Imam Ibnul Jauzi, az-Zaila’i dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah.Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Syaikh al-Albani. selain itu Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah hadits yang lemah dan tidak boleh dijadikan sebagai dalil (argumentasi).” Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan riwayat di atas, dari Abu ad-Darda’ Radhiyallahu anhu dan Abu Umâmah Radhiyallahu anhu, akan tetapi semua itu tidak ada asal-usulnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullah. Imam ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang jumlah (orang dalam shalat Jum’at)”. kemudian Syaikh ‘Abdullah al-Bassam rahimahullahjuga pernah berkata, “Dalam pembahasan ini ada beberapa hadits yang tidak ada asal-usulnya”. Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah lima puluh orang, dari Abu Umâmah rahimahullah, akan tetapi riwayat ini juga sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang ditinggalkan riwayatnya (karena kelemahannya yang fatal) dan rawi yang lemah. Demikian pula beberapa riwayat lain yang dijadikan dalil untuk menetapkan jumlah empat puluh orang sebagai syarat kebolehan mendirikan shalat Juma’at, akan tetapi semua riwayat itu tidak menunjukkan makna tersebut. Misalnya riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah (3/180). Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Riwayat ini tidak berkaitan dengan shalat Jum’at.”Juga riwayat Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang dinyatakan hasan derajatnya oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah, akan tetapi riwayat ini tidaklah menunjukkan pensyaratan jumlah tersebut dan hanya kebetulan jumlah tersebut yang ada pada waktu itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syaukani dan Syaikh al-Albani. Kesimpulannya adalah tidak ada satupun hadits shahih yang menyebutkan jumlah empat puluh orang sebagai syarat untuk mendirikan shalat Jum’at, demikian juga jumlah yang lebih atau kurang dari itu.
Cukuplah hadits shahih berikut yang sebagai bantahan terhadap pendapat yang bersandar kepada hadits lemah di atas. Dari Jabir bin ‘Abdillah rahimahullah bahwa suatu ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri menyampaikan khutbah di hari Jum’at, lalu datanglah kafilah dagang (yang membawa makanan) dari Syam, maka orang-orang (yang berada di Masjid) segera keluar menuju ke kafilah dagang tersebut, sehingga tidak tersisa (jama’ah yang shalat di Masjid) kecuali dua belas orang. Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah yang kurang dari empat puluh orang tetaplah boleh mendirikan shalat Jum’at. Sebagaimana hadits ini juga tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk menetapkan jumlah minimal pelaksanaan shalat Jum’at adalah dua belas orang, sebagaimana pendapat dari sebagian para ulama, karena kejadian yang disebutkan dalam hadits tersebut hanya kejadian tertentu dan jumlah dua belas orang tersebut hanyalah bersifat kebetulan, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan jumlah tersebut
sejalan dengan pendapat ini dua organisasi keagamaan islam di indonesia yakni Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga berpendapat selayaknya pendapat diatas. Dalam fatwanya, Muhammadiyah menegaskan bahwa jumlah jamaah sholat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah (tak ada kesepakatan) di kalangan mazhab, sebagai syarat sahnya sholat Jumat. ‘’Ulama Hanafiyah mensyaratkan sahnya sholat Jumat adalah tiga orang jamaah, selain iman,’’ ungkap fatwa Muhammadiyah itu. Menurut Mazhab Hanafiyah, meski yang mendengarkan khutbah Jumat hanya seorang saja dan saat melangsungkan sholat, makmum berjumlah tiga orang adalah sah. Sedangkan, menurut Malikiyah, jamaah sholat Jumat itu paling sedikit 12 orang, selain imam. Mazhab ini berpendapat, seluruh anggota jamaah sholat Jumat itu haruslah orang-orang yang berkewajiban melakukannya. ‘’Tidak sah kalau di antara 12 jamaah itu, salah satunya terdapat wanita atau musafir atau anak kecil,’’ tutur fatwa itu. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mensyaratkan sholat Jumat itu harus terdiri dari 40 jamaah, bahkan sebagian ulama Hambaliyah mengharuskan 50 jamaah. Menurut ulama Muhammadiyah perbedaan pendapat soal jumlah minimal jamaah Jumat itu didasarkan pada arti kata jamak ‘’cukuplah tiga’’, dan ada pula yang mendasarkan pada riwayat Jabir.
Jabir mengungkapkan bahwa berdasarkan sunah yang telah berjalan, kalaau terdapat 40 orang atau lebih, dirikanlah sholat Jumat. Namun, Albaihaqi menyatakan bahwa riwayat Jabir itu tak bisa dijadikan hujjah. Ada pula riwayat Ka’ab bin Malik yang menyatakan bahwa sholat Jumat pertama di Baqi dikerjakan 40 orang. Menurut ulama Muhammadiyah, dalam riwayat itu tak ditegaskan jumlah minimal jamaah sholat Jumat, namun hanya menceritakan jumlah orang yang menunaikan Jumat pertama. ‘’Yang jelas bahwa sholat Jumat itu sebagaimana disepakati ulama harus dilakukan secara berjamaah,’’ ungkap Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Hal itu didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud dari Thariq bin Syihab. ‘’Mengenai batas minimum tak disebutkan dalam hadis, sehingga melangsungkan sholat Jumat tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya, yang penting berjamaah,’’ demikian fatwa ulama Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan yang kerap bergulir di kalangan umat.
Lalu bagaimana ulama NU menanggapi masalah ini? Masalah ini telah dibahas dalam Muktamar ke-4 NU di Semarang pada 19 September 1929. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan, jika jumlah jamaah pada sebuah desa kurang dari 40 orang, maka mereka boleh bertaklid kepada Abu Hanifah. ‘’Dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah. Tetapi lebih utama supaya bertaklid kepada Imam Muzan dari golongan Mazhab Syafi’I,’’ demikian kesepakatan ulama NU terkait masalah jumlah minimal jamaah sholat Jumat. Selain itu, ulama NU juga membolehkan penyelenggaraan sholat Jumat di kantor-kantor. Syaratnya, sholat Jumat itu diikuti orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sah-nya sholat Jumat terpenuhi. Selain itu, tidak terjadi penyelenggaraan Jumat lebih dari satu.
dengan dikuatkannya pendapat para ulama sebelumnya oleh pendapat para ulama yang tergabung dalam organisasi keagamaan inslam yakni NU dan Muhammadiyah seharusnya bisa menjadi penerang dalam alam pemikiran kita, bukankah Allah Subhanahu Wata'ala telah Berfirman dalam Al-qur'an Surat An-nisa ayat 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
dari ayat diatas seharusnya kita dapat menyadarkan kita bahwa pendapat yang diberikan para ulama tentu bukanlah sebuah pendapat yang berasal dari khayalan atau karangan para ulama, tentu saja mereka mengabil kesimpulan dari sebuah permasalahan berdasar dari Al-Qur'an dan hadits, dan jika pendapat para ulama sudah ada maka wajib bagi kita untuk mengikutinya, namun jika pendapat para ulama dianggap masih kurang dan kita tidak sepakat atasnya maka anda dipersilahkan namun tidak boleh juga mengatakan sesat bagi mereka yang mengikuti pendapat para ulama ini. sekian insyaallah bermanfaat bagi kita semua. semoga Allah Subahanahu wata'ala senantiasa memberikan kemudahan dalam memahami ilmu Agama, Amiiin.
wassalamualaikum, Wr.Wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar