Zakat fitrah, atau zakat al-fitr, adalah salah satu dari kewajiban yang ditetapkan dalam Islam bagi setiap Muslim menjelang akhir bulan Ramadhan. Kewajiban ini memiliki tujuan yang mendalam baik dari sisi spiritual maupun sosial. Berikut adalah latar belakang mengapa zakat fitrah diwajibkan dalam bentuk makanan pokok:
1. Tuntunan Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW mencontohkan dan memerintahkan agar zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok. Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW menyebutkan jenis-jenis makanan yang bisa dijadikan zakat fitrah, seperti kurma, gandum, kismis, dan gandum kasar. Berikut adalah salah satu hadis yang menjadi dasar penetapan ini:
"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kotor, serta untuk memberi makan orang miskin. Beliau memerintahkan agar dibayar sebelum orang-orang keluar untuk shalat Id." (Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah)
2. Memenuhi Kebutuhan Dasar
Tujuan utama dari zakat fitrah adalah untuk memastikan bahwa kaum miskin dan mereka yang kurang mampu dapat merayakan Idul Fitri dengan layak. Makanan pokok adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda atau digantikan. Dengan memberikan makanan pokok, zakat fitrah langsung memenuhi kebutuhan nutrisi dan makanan bagi mereka yang membutuhkan. Ini mengurangi risiko penyalahgunaan jika zakat diberikan dalam bentuk uang.
3. Praktik Sosial dan Ekonomi di Masa Nabi
Pada masa Nabi Muhammad SAW, ekonomi umat Muslim masih berbasis pada barter dan pertanian. Makanan pokok adalah aset yang stabil dan memiliki nilai yang konsisten, berbeda dengan uang yang bisa mengalami fluktuasi nilai. Memberikan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok juga sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi pada saat itu, di mana distribusi makanan lebih langsung dan merata.
4. Menjaga Kualitas dan Konsistensi Bantuan
Dengan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok, kualitas bantuan yang diberikan dapat lebih dijaga. Umat Islam memiliki panduan yang jelas mengenai jenis dan jumlah makanan yang harus diberikan, sehingga bantuan yang diterima oleh kaum miskin tidak bervariasi dalam kualitas dan kuantitasnya. Ini juga menghindari perbedaan interpretasi yang mungkin timbul jika zakat diberikan dalam bentuk uang.
5. Pengaruh pada Solidaritas Sosial
Pemberian makanan pokok sebagai zakat fitrah memperkuat solidaritas sosial dan ikatan komunitas. Proses pengumpulan, pengemasan, dan distribusi makanan pokok melibatkan banyak pihak dan meningkatkan interaksi sosial. Ini adalah bentuk nyata dari kepedulian antar sesama Muslim, yang diharapkan dapat mempererat hubungan sosial dan meningkatkan rasa kebersamaan dalam masyarakat.
Kesimpulan
Kewajiban zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok ditetapkan dengan pertimbangan yang mendalam dari sisi agama, sosial, dan ekonomi. Tuntunan langsung dari Rasulullah SAW, kebutuhan untuk memastikan ketersediaan makanan bagi kaum miskin, serta praktik sosial dan ekonomi di masa Nabi menjadi latar belakang utama kewajiban ini. Dengan memberikan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok, diharapkan bahwa tujuan utama dari zakat, yaitu membersihkan jiwa pemberi dan membantu yang membutuhkan, dapat tercapai dengan lebih efektif dan langsung.
Dalam Islam, zakat fitrah memiliki tujuan untuk mensucikan jiwa dan membantu kaum fakir dan miskin dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan layak. Berdasarkan hadis, Rasulullah SAW menekankan pentingnya berzakat fitrah dengan makanan pokok seperti gandum, kurma, kismis, dan gandum kasar. Makanan pokok ini berfungsi sebagai bentuk sedekah yang lebih konkret dan langsung dapat digunakan oleh penerimanya. Hal ini menekankan kepedulian umat Islam terhadap kebutuhan dasar sesama manusia.
2. Sudut Pandang Ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok membantu memastikan bahwa penerima mendapatkan bahan-bahan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan merayakan Idul Fitri dengan cukup. Memberikan uang mungkin tidak selalu menjamin bahwa uang tersebut akan digunakan untuk kebutuhan pokok. Selain itu, zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok juga dapat membantu mengurangi fluktuasi harga bahan makanan selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri karena ada distribusi langsung bahan pangan ke masyarakat yang membutuhkan.
3. Sudut Pandang Sosial
Secara sosial, zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok menciptakan ikatan yang lebih kuat antaranggota masyarakat. Proses pengumpulan dan distribusi makanan pokok dapat meningkatkan interaksi sosial dan solidaritas antarumat Islam. Ini adalah bentuk nyata dari gotong-royong dan kepedulian sosial yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Keluarga yang lebih mampu memberikan langsung kepada mereka yang membutuhkan, mengurangi rasa ketidakadilan sosial dan memperkuat kohesi sosial dalam komunitas.
4. Sudut Pandang Praktis
Dari sudut pandang praktis, memberikan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok memastikan bahwa kebutuhan dasar penerima terpenuhi. Uang bisa saja digunakan untuk hal-hal yang tidak esensial atau tidak tepat sasaran, sementara makanan pokok secara langsung memenuhi kebutuhan nutrisi dan kelangsungan hidup. Selain itu, distribusi makanan pokok juga mengurangi risiko penyalahgunaan atau pemborosan zakat.
5. Sudut Pandang Kultural
Budaya di banyak masyarakat Muslim juga mendukung pemberian zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. Di berbagai komunitas, ada tradisi dan kebiasaan yang telah berlangsung lama di mana makanan pokok diberikan sebagai bentuk solidaritas dan dukungan. Mengikuti tradisi ini bukan hanya memperkuat ikatan budaya, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai yang telah dijunjung tinggi selama berabad-abad tetap terpelihara.
Kesimpulan
Berzakat fitrah menggunakan makanan pokok bukan uang memiliki berbagai keuntungan dari sudut pandang agama, ekonomi, sosial, praktis, dan kultural. Ini adalah bentuk kepedulian dan solidaritas yang lebih langsung dan efektif dalam membantu mereka yang membutuhkan. Memberikan makanan pokok memastikan bahwa kebutuhan dasar penerima terpenuhi dan memperkuat ikatan sosial serta kepedulian komunitas. Oleh karena itu, zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok tetap relevan dan sangat dianjurkan dalam berbagai konteks.
Jama’ah shalat Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah,
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Ta’alaa yang telah memberikan kita nikmat yang begitu banyak salah satunya adalah Allah masih memberikan kita semua kesempatan pada hari ini untuk bersujud padanya di kala sholat jumat untuk mengharakan ridho Allah Jalla Wa’alaa
Sholawat serta salam tak lupa pula mari selalu kita sanjungkan kepada nabi kita Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Allahumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa’Alaa aalii Muhammad. Semoga atas izin Allah, kita semua bias berkumpul bersama Rosulullah di syurga nanti. Aamiin yaa robbal ‘alamiin.
Khotib juga mau berpesan khususnyakepada pribadi khotib beserta keluarga khotib dan jamaah pada umumnya untuk senantiasa meningkatkan Taqwa kepada Allah Subhanahu Wata’Alaa yaitu dengan cara menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Jama’ah shalat Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, Khotib ingin sedikit merinci dan menjelaskan tentang Zakat yang In Syaa Allah akan kita tunaikan di akhir romadhon nanti. Namun khotib lebih menspesifikkan pembahasan pada Zakat Fitrah.
Jama’ah
Zakat fitrah adalah kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada saat terbenamnya matahari pada akhir hari Ramadhan dengan syarat tertentu, dikenakan bagi setiap mukallaf (orang yang sudah dibebankan perintah dan larangan agama) dan yang ditanggung nafkahnya.
Zakat fitrah ini disebutkan dengan istilah shadaqah al-fithri atau zakat al-fithroh. Para fuqaha (ahli fiqih) menyebut untuk harta yang dikeluarkan zakatnya dengan sebutan fithroh.
Disebut zakat fithri karena kewajibannya dikenakan dengan masuknya Idulfitri pada akhir Ramadhan. Artinya zakat fithri adalah zakat karena berbuka dari berpuasa.
Hukum Zakat Fitrah itu adalah Wajib
Zakat Fithrah itu diwajibkan sejak tahun ke 2 Hijrah pada tahun yang sama diwajibkan Puasa di bulan Romadhon.
Kewajiban zakat Fithroh sesuai dengan yang disabdakan Rosulullah melalui Haditsnya yaitu Hadits dari Ibnu Umar Rodiyallahu ‘anhu
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)
Hadirin yang dirahmati Allah Jalla Wa’alaa berdasarkan hadits sohih ini kita bisa mengambil beberapa pelajaran yaitu
Pelajaran Yang pertama :“Nabi menyuruh mengeluarkan zakat fithroh berupa makanan pokok di kala itu berupa kurma atau gandum. Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh mengeluarkan zakat fithroh berupa uang. Padahal di zaman nabi saat itu ada dirham dan dinar sebagai mata uang pembayaran yang sah. Maka kita sebagai umat yang mengaku sebagai pengikut Rosulullah sudah sepantasnyalah kita mengeluarkan zakat fithroh dalam bentuk makanan pokok kita yaitu berupa beras bukan dengan Uang.
Kemudian ada yang bertanya : Lantas kalau kita memberikan beras semua apakah penerima zakat hanya akan makan nasi saja ?
Hadirin jawaban peratanyaan ini ada 2 dan telah banyak dijawab oleh banyak ulama Rabbani
Pertama : Sebagai Umat yang mengaku beriman dan bertaqwa kepada Allah dan Rasulnya Ketika ada dalil yang sahih berupa Alquran dan Assunnah assahihah dari Rosululullah maka kita harus menerima tanpa membantah. Kita wajib mengatakan Sami’na Wa atho’na Kami mendengar dan kami Taat.
Tak perlu lagi mencari bantahan bantahan untuk memuluskan hawa nafsu kita belaka.
Kedua : jikalau kita menginginkan penerima zakat bukan hanya makan nasi tapi ada lauknya maka sertailah zakat fithroh dengan infak dan shodaqoh dari kita.
Pelajaran Yang Kedua dari hadits tersebut adalah
Zakat Fithroh yang harus dikeluarkan yaitu sebanyak satu sho’. Sho’ adalah ukuran takaran bukan timbangan.
Ukuran takaran “sha’” yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sha’ masyarakat Madinah. Yaitu setara dengan 4 mud.
Satu mud adalah ukuran satu cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan. Dengan demikian, satu sha’ adalah empat kali cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan.
Mengingat sha’ adalah ukuran takaran, umumnya ukuran ini sulit untuk disetarakan (dikonversi) ke dalam ukuran berat karena nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karena itu, yang ideal, ukuran zakat fitri itu berdasarkan takaran bukan berdasarkan timbangan.
Hanya saja, alhamdulillah, melalui kajian para ulama, Allah memudahkan kita untuk menemukan titik terang masalah ukuran ini.
Para ulama Arab Saudi telah memfatwakan dalam (Lajnah Daimah, no. fatwa: 12572) telah melakukan penelitian bahwa satu sha’ untuk beras dan gandum beratnya kurang lebih 3 kg.
Jama’ah shalat Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah,
Jangan sembarangan dalam memberikan zakat fithroh. Jikalau kita memberikan zakat fithroh kepada yang bukan berhak, maka zakat fithroh kita belum tertunai.
Dan ingatlah sebelum zakat fithroh kita berada pada tangan yang berhak menerima, maka zakat fithroh kita belum tertunai.
Begitu juga dengan kita, apabila diri kita bukan orang yang berhak maka janganlah sekali kali untuk menerima zakat fithroh. Karena bisa menyebabkan dosa karena tidak sesuai dengan apa yang telah allah sampaikan dalam Alquran.
Maka, sangat penting bagi kita kita untuk mengetahui, siapa saja yang berhak menerima zakat tersebut.
Hal ini telah di jelaskan oleh Allah Subhanahu Wata’Alaa dalam firmannya Surah At-Taubah Ayat 60 :
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan Firman Allah tersebut, maka yang wajib menerima zakat fithroh itu ada 8 golongan yaitu :
1.Fuqoro (orang Faqir)
Terkait faqir, hal ini telah dijelaskan oleh Syaikh Sa’id Al-Qathani dalam kitabnya Az-Zakaatu Fil Islaam Fii Dhaui Al-Kitaabi Wa As-Sunnah (hlm. 238)
“Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak memiliki penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan mereka, atau memiliki penghasilan yang hanya dapat memenuhi kekurangan dari setengah kebutuhan mereka, baik dari hasil usaha sendiri, atau jalur lainnya.”
2.Misqiin
Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039).
3. ‘Amil atau Panitia Zakat
Perlu di ketahui hadirin yang dirahmati Allah, Amil ini bukanlah pengumpul pengumpul zakat yang di bentuk dimasjid – masjid tetapi amil yang dimaksud dalam firman Allah ini adalah mereka yang ditunjuk langsung oleh Pemimpin Yaitu Preside, Gubernur dan Walikota atau Bupati untuk bertugas mengumpulkan zakat. Kalau di Indonesia yang ditunjuk oleh Pemimpin adalah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).
Hal ini sesuai dengan Firman Allah Jalla Wa’Alaa dalam suroh At-Taubah Ayat 103, yaitu perintah Allah Kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam yang pada saat itu adalah sebagai pemimpin Negara
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Jadi Hadirin Hanya amil yang ditunjuk oleh pemimpinlah yang boleh mengambil zakat fithrah ini. Kalaupun pengumpul zakat di masjid-masjid ingin mendapatkan upah dari kerjanya, maka ambillah dari infaq dan shodaqoh yang diperuntukkan untuk operasional masjid.
4. Muallaf
Pendapat Mayoritas Ulama yang di sebut dengan muallaf adalah orang yang baru masuk islam yang diharapkan hati dan keimanan mereka semakin teguh dan kuat diatas islam.
Jadi perlu digaris bawahi muallaf adalah orang yang baru masuk islam sebulan atau dua bulan ataupun setahun yang baru belajar akan islam bukan orang yang masuk islam berpuluh puluh tahun.
Zaman sekarang banyak yang salah kaprah soal muallaf penerima zakat ini. Kalu mereka berpendapat jikalau muallaf adalah orang lahir dalam keadaan non muslim dan ketika dewasa baru masuk islam, maka Istri Nabi Khodijah adalah Muallaf, Sahabat Rosul Abu Bakar Asshiddiq, Umar Bin Khottob juga adalah Muallaf. Kita tidak akan menemukan satu dalilpun bahwa para sahabat ini menerima zakat fithroh. Wallahu a’lam.
5. Riqob atau Budak
Hadirin Zaman modern sekarang ini tidak ada lagi perbudakan. Jadi sangat tidak memungkinkan golongan seperti ini untuk di cari untuk dibagikan zakat fithrohnya.
6. Ghorim atau orang orang yang terlilit hutang
Hadirin orang yang terlilit hutang disini adalah orang yang berhutang untuk membiayai makan dan minum keluarganya dan dia tidak memiliki sepeserpun harta untuk melunasinya. Bukan orang yang berhutang handphone, mobil, motor ataupun perumahan.
7. Fii Sabilillah
Maksud dari fi sabîlillâh adalah perang saja. Ini adalah pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah, juga pendapat madzhab Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan salah satu riwayat dari Hanâbilah yang dirajihkan oleh Ibnu Qudâmah rahimahullah.
Dalil pendapat ini adalah:
Yang dimaksud dengan fi sabîlillâh secara mutlak adalah perang dan kebanyakaan penggunaan kalimat ini dalam al-Qur`ân adalah dalam arti berperang.
Jadi sangatlah tidak tepat kalau dizaman sekarang ada yang mengqiyaskan guru guru mengaji bisa mendapatkan zakat fithroh dari golongan fii sabilillah.
8. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan dan tidak bisa pulang. Terlepas dengan keberadaan harta di daerahnya, apakah dia orang mampu ataukah tidak mampu.
Ibnu Sabil terdiri dari dua kata, Ibnu dan Sabil. Ibnu artinya anak, sementara sabil artinya jalan.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
As-Sabil artinya jalan. Ibnu Sabil artinya musafir. Disebut Ibnu Sabil (anak jalanan), karena dia selalu di perjalanan. Dan orang yang selalu berada di posisi tertentu, terkadang dinisbahkan kepada sesuatu itu dengan hubungan anak. Seperti, Ibnul Maa (anak air), karena selalu berada di tempat air.
Karena itulah, maksud dari Ibnu Sabil adalah musafir yang sedang di perjalanan. Sementara makna musafir yang tidak bisa melanjutkan perjalanan, artinya orang yang kehabisan bekal, sehingga dia tidak memiliki bekal perjalanan pulang ke daerahnya.
Waktu paling utama untuk menyerah zakat fitrah adalah pada pagi hari sebelum shalat Ied, oleh karenanya disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ied demi untuk memberi kesempatan kepada kaum muslimin untuk membayar zakat fitrahnya kepada fakir miskin. Adapun waktu wajibnya adalah setelah terbenam matahari akhir bulan Ramadlan sampai sebelum dilaksanakan shalat Ied. Dalilnya adalah hadist Ibnu Abbas bahwasanya Rasululullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Artinya: Ibnu Abbas Rodhiallahu ‘Anhu mengatakan, "Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari omong kosong dan kata-kata kotor, serta untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum sholat (Idul Fitri), maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah sholat, maka itu adalah sedekah (biasa)." (HR Ibnu Majah).
Jama’ah shalat Jumat yang in syaa Allah dirahmati oleh Allah Jalla Wa’Alaa,
Mari kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya serta rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya serta Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jama’ah
Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyaa’: 35).
Dalam Tafsir Ibnu Jarir.
Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an- menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.”
Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.
Di Kesempatan yang mulia ini Khotib ingin menyampaikan beberapa Hikmah dari sakit penyakit yang kita derita…..yang khotib kutib dari beberapa Ayat Al-Quran dan Hadits yang sohih.
Yang Pertama :
Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar
yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim Nomor 2999).
Yang Kedua
Sakit akan menghapuskan dosa
Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah Kita semua lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuh kita.
Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan.
“Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. asy-Syuura: 30).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”
yang artinya,” Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi. (HR. Muslim Nomor 2575)
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya, menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang dideritanya.
Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الحمى تبعد كل مؤمن عن نار جهنم
“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka.” (HR. Al Bazzar, shohih)
Yang Keempat
Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya
Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya.
Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehat wal ‘afiat suka tenggelam dalam perbuatan maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-nya.
Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-Nya. Dia menjadi ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan kepasrahan diri.
yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS. al-An’am: 42)
(Dalam Tafsir Ibnu Jarir) dijelaskan yaitu supaya mereka mau tunduk kepada Allah, memurnikan ibadah kepada-Allah, dan hanya mencintai-Allah, bukan mencintai selain-Allah, dengan cara taat dan pasrah kepada-Allah.
Yang Kelima
Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah
Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya, sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak.
Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini:
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah yang dapat kita gali. Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari.”
Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Semoga Kita semua di hindari dari berabagai sakit dan penyakit dari Allah Jalla Wa’Alaa…dan kalaupun kita sakit ataupun keluarga kita sakit Allah berikan kita kesembuhan ataupun kesabaran dalam menjalaninya.
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Azza Wajalla dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta dengan menjauhi segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju tempat tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak orang yang dulunya bersama kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah dengan kita, telah melewati dan meninggalkan dunia ini. Mereka telah meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat perhitungan dan pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya kita menyusul mereka. Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal ketika pada hari perhitungan amal nanti dia datang dalam keadaan tidak membawa amal shalih. Allah Azza Wajalla berfirman:
“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.” (Al-Fajr: 23-24)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Azza Wajalla,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari yang Allah Subhanahu Wata'alaa berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu dengan dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat, tidak seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam:
“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Azza Wajalla,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak berdzikir kepada Allah Azza Wajalla, baik itu berupa ucapan takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Azza Wajalla:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُو
“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya rahmat Allah Azza Wajalla kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Azza Wajalla masih memberikan kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah, seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau Shollallahu 'alaihi wasallam menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْـمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah Azza Wajalla. Karena Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah Azza Wajalla kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau Shollallahu 'alaihi wasallam:
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah l mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan para ulama adalah hari yang disebutkan dalam firman Allah Azza Wajalla:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut:
“Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza Wajalla.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan dzikir yang Allah l perintahkan kaum muslimin untuk banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq dan hari-hari sebelumnya di awal bulan Dzulhijah, para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebutkan fatwa sebagai berikut:
“Disyariatkan pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir muqayyad. Adapun takbir mutlak maka (disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh waktu dari mulai awal masuknya bulan Dzulhijah sampai hari yang terakhir dari hari-hari tasyriq. Sedangkan takbir muqayyad (disyariatkan untuk dilakukan) pada setiap selesai shalat wajib mulai dari setelah selesai shalat subuh pada hari Arafah sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir hari tasyriq. Dan pensyariatkan hal tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para sahabat Rodhiyallahu 'alaih.”
Sebagaimana ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu amalan yang tata caranya tidak boleh menyimpang dari petunjuk Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam. Sehingga para ulama juga memberikan peringatan dari dilakukannya takbir secara jama’i, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi n dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Yang dimaksud di sini adalah takbir yang diucapkan secara bersama-sama dengan satu suara dan dipimpin oleh seseorang. Hal ini sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang melakukan takbir sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir dengan cara bersama-bersama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang) tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam. Dan beliau shollallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita. Begitu pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Azza Wajalla. Sehingga kita akan menjadi orang yang mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga dari gangguan setan, serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah Azza Wajalla.
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Azza Wajalla dengan selalu menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara bentuk ketaatan yang sangat besar keutamaannya dan sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla adalah menyembelih binatang qurban. Amalan ini merupakan sunnah Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi kita Muhammad Shollallahu 'alaihi wasallam. Maka seorang muslim yang memiliki kemampuan semestinya menjalankan amal ibadah yang mulia ini, yaitu menyembelih hewan qurban, baik dia lakukan sendiri dan ini lebih afdhal, atau meminta orang lain yang mengetahui hukum dan cara penyembelihan yang syar’i untuk melakukan penyembelihannya. Namun tidak boleh baginya untuk membayar upah penyembelihannya dengan sebagian dari hewan qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya, atau yang semisalnya. Meskipun boleh baginya untuk memberinya sebagai sedekah sebagaimana diberikan kepada yang lainnya dari kalangan fakir miskin. Atau bisa pula dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai hadiah, sebagaimana dia berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga ataupun kerabatnya meskipun mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk memakan hewan sembelihannya, namun tidak boleh baginya untuk menjual bagian apapun dari hewan sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi orang yang berqurban untuk memotong rambut dan kukunya dari mulai masuknya awal bulan Dzulhijah sampai dia melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang demikian tadi disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Azza Wajalla,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam, bahwa untuk melaksanakan ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa bergabung secara bersama-sama dengan menyembelih seekor onta atau sapi. Begitu pula bisa dengan menyembelih seekor kambing, namun itu hanya mencukupi untuk satu orang. Namun dengan menyembelih satu ekor kambing sudah mencukupi untuk diri dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara dia niatkan pahalanya untuk dirinya dan seluruh keluarganya baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia. Maka semua akan mendapat keutamaan dan pahala yang sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin rahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu penyembelihan maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari setelah selesai shalat Idul Adha dan berakhir waktunya menurut pendapat yang benar hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas di bulan Dzulhijjah. Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah (lagi) kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum saatnya) tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Azza Wajalla,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah ditentukan. Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam, hewan itu bukanlah hewan yang buta satu matanya dan sangat jelas butanya, serta bukan pula hewan yang terkena sakit dan sangat jelas sakitnya. Bukan pula hewan yang pincang sehingga tidak bisa berjalan mengikuti lainnya, serta bukan hewan yang sudah sangat tua sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya kepada ahlinya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.
Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari sebaik-baik hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang tinggi nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya, dan kuat/sehat tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian termasuk bentuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah l yang menunjukkan besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah Azza Wajalla:
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Azza Wajalla senantiasa memberikan kepada kita petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah l tidak menjadikan kita menjadi orang yang sia-sia amalannya, karena beribadah dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah n dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia, hidayah dan berjuta kenikmatan tak terhingga yang telah Dia anugerahkan kepada kita semua.
Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan ke haribaan baginda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan semua orang yang mengikutnya hingga hari kemudian.
Selanjutnya marilah kita meningkatkan takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benar takwa, yakni dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kaum muslimin ‘azzakumullah
Sekarang kita semua sudah berada di era globalisasi serta modernisasi yang didalamnya penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sudah bolak balik menuju ke bulan. Pembuatan Robot yang canggih sudah bukan hal yang asing lagi. Berbagai macam obat penawar penyakit yang di buat oleh para ahli farmasi dan kedokteran sudah semakin banyak dan mudah di dapati. Orang – orang berlomba mengejar pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai dengan program doktoral.
Tapi sangat di sayangkan Jamaah…. Masih banyak umat manusia terlebih lagi umat muslim di daerah kita yang masih mempercayai dan mendekati para Dukun, para ahli ramal, yang konon katanya mereka ini adalah orang pintar. Padahal sejatinya mereka ini adalah orang jahil, orang bodoh serta penipu yang ulung.
Karena perbuatan para dukun, karena dusta dusta mereka banyak diantara keluarga yang bermusuhan sampai memutuskan silaturahmi. Perkataan satu dukun dan dukun lainnya kalau kita peka dan cermat mengamati perkataan mereka pasti sama. Kalau orang datang kepada mereka menanyai barang yang hilang pasti mereka berkata : oooooo ini tidak jauh.. orang dekat yang mengambil. Kalau orang sakit yang mendatangani mereka dan bertanya tentang sakit mereka pasti dia berkata : ooooooo ini orang dekat yang mengirimkan…. Naudzu billahi min zalik tsumma naudzu billahi min dzalik.
Hadirin yang dirahmati Allah Jalla Wa ‘alaa
Kebohongan para dukun ini sudah disampaikan oleh Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam
Dari Aisyah ra. ia berkata, Rasulullah ﷺ ditanya oleh sejumlah orang tentang para dukun, beliau menjawab, “Mereka bukan apa-apa.”
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mereka kadang mengatakan sesuatu kepada kami, lalu terjadi seperti yang mereka katakan.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kata-kata itu adalah kebenaran yang dihafal oleh jin lalu ia bisikan ke telinga temannya, kemudian ia campurkan dengan seratus kebohongan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إنَّ الملائكَةَ تَنْزِلُ في العَنانِ ¬ وهو السَّحابُ ¬ فَتَذْكُرُ الأمْرَ قُضِيَ في السَّمَاءِ، فيسْتَرِقُ الشَّيْطَانُ السَّمْع، فَيَسْمعُهُ، فَيُوحِيهِ إلى الْكُهَّانِ، فيكْذِبُونَ معَهَا مائَةَ كَذْبةٍ مِنْ عِنْدِ أنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya para malaikat turun di awan lalu menyebutkan urusan yang telah ditentukan di langit, kemudian setan mencuri dengar, ia mendengar perihal tersebut lalu ia bisikkan kepada para dukun, lalu mereka campurkan seratus kebohongan padanya dari karangan-karangan mereka sendiri.” (HR. Bukhari).
Dua hadits yang baru saja kita simak bersama ini mengandung pelajaran bahwa ucapan para dukun itu, tidak lain dan tidak bukan, merupakan hasil dari perbuatan setan yang mencuri dengar berita langit, lalu dicampuradukkan dengan kedustaan.
Mereka, para dukun ini, selalu berlindung kepada jin dalam segala urusan, menanyakan tentang berbagai peristiwa kepada mereka, lalu jin membisikkan kata-kata kepada mereka.
Apakah orang-orang seperti ini yang kita percayai ? Yang kita datangi untuk memuluskan hajat-hajat kita atau kita percaya bisa mendatangkan manfaat dan mencegah dari bahaya
? Tentu tidak. Islam mendustakan mereka, melarang membenarkan dan mendatangi mereka.
Hadirin yang berbahagia
Coba sedikit kita memakai logika kita…. Kalau benar mereka para dukun bisa mengetahui barang yang hilang ataupun penyebab orang sakit
Tentu saja pihak kepolisian tidak perlu memakai intel untuk mengetahui keberadaan penjahat
Komisi pemberantasan korupsi tidak perlu meminta bantuan sampai ke interpol untuk memburu para pelaku korupsi
Para calon dokter tidak perlulah sekolah sampai 7 atau 8 tahun untuk tahu mengobati….
Laa hawlaa walakuwwata illa billah
Hadirin yang berbahagia…
Ketahuilah agama islam… Allah dan Rosulnya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasalam sangat melarang untuk mendekati para dukun apalagi sampai mempercayainya.
“Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya sesuatu kepadanya lalu membenarkannya, shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim).
Hadits ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk tidak coba-coba mendatangi peramal apalagi membenarkannya. Sanksinya jelas, salat kita selama empat puluh hari tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wata’alaa. Padahal pada dasarnya salat yang kita kerjakan digambarkan oleh Rasul dalam sebuah kesempatan, seperti orang yang mandi lima kali dalam sehari semalam.Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan salat, diri kita dibersihkan dan disucikan dari berbagai perbuatan buruk yang pernah kita lakukan.
Maka alangkah rugi seseorang yang tidak tahu apakah salatnya diterima atau tidak, lalu ia menambah dosa dengan mendatangi peramal maupun dukun yang dengan perbuatan ini ibadahnya tidak diterima oleh Allah, bukan satu atau dua hari, tapi selama empat puluh hari lamanya. Bagaimana halnya dengan mereka yang rutin datang kepada para dukun dan peramal, tentu lebih banyak kerugian yang dideritanya. Sungguh malang nasibnya. Menjadi orang yang rugi di dunia karena dibohongi oleh para dukun dan rugi di akhirat sebab salatnya tidak diterima.
Perdukunan merupakan aktivitas yang meresahkan umat dan dapat membawa masyarakat kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah), dosa paling besar yang tidak diampuni Allah Subhanahu Wata’alaa.
Untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa kepada kemusyrikan, maka siapa saja yang memiliki wewenang untuk mengatasi perdukunan, wajib untuk menghentikannya, bahkan menghukum orang yang melakukan praktik-praktik semacam ini. Jangan sampai kita terpedaya dengan kata-kata mereka yang seakan-akan benar adanya padahal nihil kebenaran dan manfaat.
Apalagi Jamaah jikalau kita mati dalam keadaan belum bertaubat dari keadaan syirik seperti ini maka nerakalah tempatnya
“Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).
Hadirin yang di rohmati Allah Jalla Wa’alaa
Tidak kita pungkiri keberadaan para Dukun para Ahli Sihir ini sudah ada sejak jaman Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam….pekerjaan mereka memang mendzholimi umat manusia dengan sihir dari jin dan setan mereka bahkan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam tidak lepas dari serangan mereka.
Jamaah jikalau kita terkena sihir dari para dukun ini.. jangnlah kita meminta pertolongan kepada para dukun atau ahli sihir yang lain.
Mintalah kesehatan kepada Allah serta Bertawakallah kepada Allah. Gunakanlah pengobatan yang diperbolehkan oleh syariat agama islam.
Kita bisa mengambil contoh cara pengobatan Rosulullah dari sihir
Ketika Rosulullah sakit terkena sihir dari orang yahudi. Allah subhanahu wata’alaa memerintahkan malaikat jibril untuk memerintakan Rosulullah membaca muawwidzatain yaitu suroh al-falaq dan surah annas. (hadits shohih riwayat baihaqi)
Ataupun kita bisa membaca ayatul kursi atau suroh albaqoroh ayat 255
Hal ini sesuai dengan hadit shohih riwayat bukhori nomor 2311
Hadits ini cukup panjang…yaitu peristiwa kita abu hurairoh menangkap setan yang berwujud manusia.. kemudia dia meminta dilepaskan..dan memberitahu kepada abu huroiroh bahwa jikalau hendak tidur maka bacalah suroh albaqoroh ayat 255 maka akan terajaga sampai pagi dari setan dan jin.
“Sesungguhnya segala sesuatu punya puncak, dan puncak Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah, dan sesungguhnya setan jika mendengar surah Al-Baqarah dibaca maka ia akan keluar dari rumah yang dibaca di dalamnya surah Al Baqarah.” (HR. Hakim, dinilai Hasan oleh Syaikh Albani).
Semoga kita semua dijauhi dari perilaku yang suka mendatangani dukun apalagi mempercayainya.
Dan kita berdoa kita terbebas dari perbuatan syirik diakhir hayat nanti
Kita juga bisa membentengi diri kita dengan dzikir pagi dan petang yang diambil dari hadits hadits sohih.
Saya juga mau mengingatkan untuk banyak bersholawat di hari jumat ini…barang siapa bersholawat sekali kepada rosulullah maka dibalas 10 kali oleh Allah Jalla Wa’alaa
Dan jangan lupa banyak berdoa dihari jumat ini karena hari jumat ba’da ashar adalah waktu yang mustajab untuk berdoa
Jama’ah shalat Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah,
Tak ada ungkapan yang lebih pantas untuk kita sampaikan pada kesempatan kali ini, selain ungkapan puji dan syukur kepada ILAHI ROBBI, ALLAHU ROBBUL ‘AALAMIIN. Karena dengan limpahan nikmat-NYA kita semua bisa berada dalam keadaan sehat wal ‘afiyat, kita semua masih bisa dalam keadaan lapang, dan yang paling penting kita semua masih bisa menjaga Tauhid kita, masih bisa menjaga iman kita. Yakni tidak ada Tuhan yang pantas di sembah selain ALLAH Jalla Wa’alaa dan Nabi Muhammad Shollahu ‘Alaihi Wasallam adalah Nabi dan Rosul Kita.
Semoga Tauhid ini, Semoga Iman ini tetap di dada, tetap di hati sanubari kita, tetap terucap di lisan kita dan tetap melaksanakan konsekuensi dari iman ini yakni tetap menjalankan semua perintah ALLAH dan Rosulnya sampai hayat lepas dikandung badan. Sehingga kita berpulang kepada ALLah dalam keadaan husnul khotimah.
Sholawat dan salam mari tetap kita haturkan kepada manusia yang paling baik akhlaknya dimuka bumi ini, satu satunya manusia yang mampu memberikan syafaat untuk manusia akhir zaman atas izin ALLAH yakni Baginda Rosulullah Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wasallam. Marilah senantiasa kita beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dari beliau yang telah beliau contohkan melalui Sunnah - sunnah beliau. Baik yang berupa qowliyah atau ucapan beliau, baik secara fi’liyah atau perbuatan beliau dan baik melalui takrir beliau atau persetujuan dari beliau. Semoga dengan usaha ini diakhirat kelak kita diakui sebagai umat dari Rosululullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dan bisa masuk ke surganya Allah Ta’alaa kelak.
Jama’ah shalat Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah,
Marilah Kita senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita yakni dengan cara melaksanakan semua perintah ALLAH dan menjauhi semua larangan Allah.
Karena hanya dengan keimanan dan ketaqwaan yang seperti ini bisa mendatangkan keridhoaan dari Allah Jalla Wa’Alaa.
Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …
Sekarang kita berada pada Bulan ke 12 tahun Miladiyah yakni Bulan Desember. Bulan terakhir pada penanggalan Tahun Miladiyah. Dibulan ini terjadi fenomena dimana kaum muslimin baik pada tingkatan anak – anak maupun dewasa mulai mengikuti kebiasaan orang kafir untuk memainkan petasan.
Maka, pada kesempatan yang berbahagia ini izinkanlah khotib untuk menyampaikan tentang hukum memainkan petasan.
Hadirin yang In Syaa Allah dirahmati Allah Jalla Wa’Alaa
Memainkan petasan ini hukumnya adalah Haram.
Hal ini, bahkan sudah di fatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Mengapa memainkan ataupun menyalakan petasan hukumnya haram ?
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang telah disyariatkan oleh agama Islam baik melalui Alquran maupun hadits nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam.
“Tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu dan tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain (HR. Ibnu Majah no. 2340).
Petasan memberikan mudhorot pada orang lain bahkan untuk diri sendiri. Ada yang celaka bahkan mati gara-gara bermain petasan. Kita bisa melihat contoh nyata didaerah kita ada rumah di kelurahan Sumompo terbakar karena petasan berjenis rocket terbang masuk ke rumahnya begitu juga Sekolah MAN MODEL Manado pernah mengalami kebakaran akibat petasan yang sama begitu juga ada rumah di kelurahan karombasan Utara juga pernah mengalami hal yang sama.
Di daerah Jawapun ada beberapa anak hancur tangannya karena petasan bahkan ada nyawanya yang hilang.
Hal ini sangat bertentangan dengan pendalilan yang kami bacakan di awal yakni
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
“Tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu dan tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain.
Kedua :
Asal muasal tradisi memainkan atau menyalakan petasan ataupun kembang api bukanlah berasal dari islam tetapi tradisi ini berasal dari budaya Negeri Cina pada abad ke 11. Mereka meyakini dengan menyalakan petasan bisa mengusir elemen jahat ataupun kesialan.
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Daud no. 4031.).
Hadits ini sangat jelas dan gamblang Rosul telah memfatwakan kepada kita jauh jauh hari Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.
Hadirin maukah kita, sudikah kita menjadi bagian dari mereka ?
Yang sudah jelas jelas Allah telah sampaikan dalam alquran suroh at-taubah ayat 68 bahwa
Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah (neraka) itu bagi mereka. Allah melaknat mereka; dan mereka mendapat azab yang kekal,
Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …
KETIGA :
Membeli bahkan sampai menyalakan petasan adalah sebuah pemborosan ataupun suatu hal yang tidak adak ada gunanya. Uang yang kita cari susah payah kita pakai hanya untuk membakar petasan. Padahal uang yang kita dapatkan bisa kita pakai untuk hal yang lebih bermanfaat seperti membeli kebutuhan pokok kita seperti beras, ikan dan sayur ataupun susu susu anak kita. Atau untuk mendapatkan amal jariyah kita bisa sumbangkan ke masjid atau bisa kita sedekahkan ke fakir miskin ataupun anak yatim piatu.
Hal ini selaras dengan Firman Allah Subhanahu Wa ta’alaa dalam suraoh Al-Isra ayat 26 dan 27
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Begitu juga Allah berfirman dalam suroh Al-Baqoroh ayat 195
Dan infakkanlah/Belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Hadirin yang kami doakan semoga sehat selalu
KEEMPAT :
Kita telah menetahui bersama akan kebisingan yang ditimbulkan oleh petasan dan sejenisnya. Suaranya sangat keras bahkan sangat mengganggu. Di lingkungan sekitar kita ada bayi yang baru saja di tidurkan oleh ibunya dengan susah payah. Ada juga warga yang sedang sakit. Bahkan ada yang jantungan. Ada juga jamaah yang sedang belajar dan mengajar mengaji. Ada juga jamaah yang sedang melaksanakan sholat. Ataupun ada warga yang baru saja terlelap karena capeknya beraktifitas mencari nafkah.
Kemudian tiba – tiba ada yang menyalakan petasan dengan kerasnya.
Wallahi ini sangat mengganggu hadirin.
Ingatlah sabda nabi muhammmad shollahu ‘alaihi Wasallam
“Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadirin yang In Syaa Allah di rahmati Allah Jalla Wa’Alaa
Majelis Ulama Indonesia juga telah memfatwakan bahwa Sehubungan dengan haramnya membakar atau menyalakan petasan dan kembang api, maka haram pula memproduksi, mengedarkan dan memperjualbelikannya. Hal ini didasarkan pada Kaidah Ushul Fiqh, “Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan.”
Hal ini juga sama seperti yang telah disampaikan oleh Syaikh As Sa’di
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata,
وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ
وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ
Hukum perantara sama dengan hukum tujuan
Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya
Demikian khutbah pertama ini. Semoga Allah memberi kita semua taufik dan hidayahnya.